Minggu, 29 Agustus 2010

Anak Sapat di Banua Urang

Begini aku melalui hari-hariku. Tak terlalu mengambil pusing setiap kata yang terlontar padaku. Ada yang bilang, engkau tak ubahnya seperti kehilangan permata hati di tumpukan jerami. Tak bisa dicari, tak dapat ditemukan lagi.

Uh biarlah… inilah aku, dilahirkan di sebuah desa yang tak terlalu besar (jika tak bisa dikatakan sangat kecil) Sapat namanya. Pulau Mas nama pulaunya. Indragiri nama sungainya. Hari-hari yang kulalui pun tak seindah anak-anak pantai yang selalu diselingi dengan tarian elang perkasa dan lantunan gemerisik angin dan gemuruh pecahan ombak ditepiannya. Berlarian mengejar pecah ombak di tepian pantai yang konon sangat romantic itu, meski hingga kini aku belum pernah mencicipinya. Aku juga bukanlah anak desa di bawah kaki bukit hijau dengan tetumbuhan seluas mata memandang, bukan pula di pesisir kepulauan yang indah bagai dunia satwa tanpa problematika berarti. Namun, desaku bukanlah padang pasir yang tandus tiada mata air barang sedikitpun. Desaku adalah desa yang tak dapat disebut kota, hanya karena hari demi hari orang-orang makin berbondong-bondong meninggalkannya.

Kawan, cobalah tanyakan, lalu dengarkan jawaban mereka yang pernah meneguk asinnya air kuala sungai Indragiri, “masih ingatkah engkau dengan singki, patak sudur, parit musyawarah, bakunyungan, mancuk pidada laut, maunjun haruan dan lain-lain itu ? atau telah ada memori yang lebih indah hingga engkau dengan mudah melupakannya ?”.

Entah alasan apa, aku sendiri kadang tak begitu yakin dengan jati diri dan kecintaan orang yang pernah mengenal Sapat. Namun, biarlah berlalu orang-orang yang kenangannya tak terpatri kuat di dada kampungku, tapi kami masih ada. Kan kami berikan cinta seutuhnya untuk kampung yang tiada tergantikan.

Kawan, “gantungkan cita-cita setinggi-tingginya lalu berusahalah melampauinya”. Taklah berlebihan kata-kata itu kurasa. Memang begitulah sepatutnya kita bercita-cita. Adakah orang yang lebih pesimis dari pada orang yang takut bercita-cita. Namun, adakah orang yang paling stress dari pada orang yang bercita-cita namun tak pernah berusaha.

Teringat aku dengan sebuah ucapan Imam syafi’i, diantara syarat mutlak para penuntut ilmu adalah ia harus meninggalkan kampung halamannya. Berhijrah dalam istilah agama, bukanlah sekedar pindah dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa ada tujuan yang berarti. Demikianlah, kata-kata itu telah membius sanubariku dan orang semisalku, tergila-gila dikampung orang bukanlah alasan melupakan kampung halaman. Tapi, dengan inilah kita akan mampu meresapi kelebihan orang lain, lalu mengadopsinya untuk kemudian melegalkannya menjadi hak milik pribadi. Karena bukanlah cela, mencontoh hal yang baik meski dari musuh sendiri.

“hikmah (dan segala bentuk kebaikan) adalah harta orang muslim yang tercecer, maka dimanapun ia menemukannya, dialah yang lebih berhak memilikinya”.

Tidak ada komentar: